Baik sangka
Ada banyak hal yang
tak pernah kita minta
Tapi Allah tiada
alpa menyediakannya untuk kita
Seperti nafas
sejuk, air segar, hangat mentari
Dan kicauan burung
yang mendamai hati
Jika demikian, atas
doa-doa yang kita panjatkan
Bersiaplah untuk diijabah
lebih dari apa yang kita mohonkan
Seorang kawan
bertanya dengan nada mengeluh.
“Dimana
keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal
saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya.
Kutegakan yang wajib. Kutekuni yang sunah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri
diwaktu malam. Aku bersujud di kala dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan
sepenuh kemampuan mengikut jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum
mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”
Saya
menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,”
lanjutnya kini sambil berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya
berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau.
Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan
sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta
didapatkannya. Di mana keadilan Allah?”
Rasanya saya
punya banyak kata-kata untuk mnghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “kamu
sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu
tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana iblis telah terlena! Jangn heran kalau doa
mu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapussegala kebaikan. Nilai dirimu
hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi
kedudukannya disisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”
Saya bisa
mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.
Tapi saya
sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain
yang saya harap lbih bermakna baginya daripada sekedar terinsyapkan tapi
sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada
kesadarannya.
Maka saya
katakana padanya,” Pernahkah engkau didatangi pengamen?”
“maksudmu?”
“ya,
pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“iya.
Pernah.” Wajah serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.
“bayangkan
jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik,
dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakan
telinga. Suaranya kacau balau, parau,sumbang dan cemprang. Lagunya malah
menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau
lakukan?”
“segera ku
beri uang,” jawabnya, ”Agar sgera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”
“lalu
bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, menyanyi dengan sopan dan
penampilannya rapi lagi wangi. Apa yang kau lakukan?”
“kudengarkan,
kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata. “lalu
kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”
Saya tertawa.
Dia tertawa.
“Kau
mengertikan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para
hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji munkar, banyak dosa, dan dibenciNya
berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ’cepat
berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak
suaranya. Aku risi mendengar pintanya!”
“Tapi,” saya
melanjutkan samba mmastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan
tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin
bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakan sunnah, maka mungkin saja
Allah akan berfirman pada malaikatNya: ‘tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi
hajatnya. Sungguh aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus
meminta, terus berdoa, terus menghiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai
kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai
puja dan puji ya g dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah
mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”
“Oh ya?”
matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”
“hm… pastinya
aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya
sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan dia
tersenyum. Alhamdulillah…
Kita tak
pernah tahu apa yang trjadi esok. Kita terhijab dalam kegelapan. Kita tertabir
dalam suatu keadaan yang kita sebut masa depan. Dalam kepekatan itu, kita hanya
bisa mengira-ngira. Kita menduga-duga. Kita berprasangka. Bisa baik, bisa
buruk. Bisa positif, bisa negative. Bisa pesimis, bisa optimis. Itu semua
pilihan. Tetapi ketika harus menyusuri langkah-langkah dalam dekapan ukhuwah,
sepertinya kita harus memilih untuk berbaik sangka. Karena tak ada pilihan
lain. Berbaik sangka lah…
Dalam Dekapan
Ukhuwah
Salim A.
Fillah
0 komentar:
Posting Komentar