Selasa, 24 Juli 2012

tak ada yang lebih baik selain baik sangka


Baik sangka
Ada banyak hal yang tak pernah kita minta
Tapi Allah tiada alpa menyediakannya untuk kita
Seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari
Dan kicauan burung yang mendamai hati
Jika demikian, atas doa-doa yang kita panjatkan
Bersiaplah untuk diijabah lebih dari apa yang kita mohonkan

Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.
“Dimana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya. Kutegakan yang wajib. Kutekuni yang sunah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri diwaktu malam. Aku bersujud di kala dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”
Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya kini sambil berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?”
Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk mnghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana iblis telah terlena! Jangn heran kalau doa mu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapussegala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya disisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”
Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.
Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lbih bermakna baginya daripada sekedar terinsyapkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakana padanya,” Pernahkah engkau didatangi pengamen?”
“maksudmu?”
“ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“iya. Pernah.” Wajah serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.
“bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakan telinga. Suaranya kacau balau, parau,sumbang dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”
“segera ku beri uang,” jawabnya, ”Agar sgera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”
“lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi. Apa yang kau lakukan?”
“kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata. “lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”
Saya tertawa.
Dia tertawa.
“Kau mengertikan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji munkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ’cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya!”
“Tapi,” saya melanjutkan samba mmastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakan sunnah, maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: ‘tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus menghiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji ya g dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”
“hm… pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan dia tersenyum. Alhamdulillah…

Kita tak pernah tahu apa yang trjadi esok. Kita terhijab dalam kegelapan. Kita tertabir dalam suatu keadaan yang kita sebut masa depan. Dalam kepekatan itu, kita hanya bisa mengira-ngira. Kita menduga-duga. Kita berprasangka. Bisa baik, bisa buruk. Bisa positif, bisa negative. Bisa pesimis, bisa optimis. Itu semua pilihan. Tetapi ketika harus menyusuri langkah-langkah dalam dekapan ukhuwah, sepertinya kita harus memilih untuk berbaik sangka. Karena tak ada pilihan lain. Berbaik sangka lah…

Dalam Dekapan Ukhuwah
Salim A. Fillah

0 komentar:

Posting Komentar